oleh: nurul laily maulidyah
Seorang perempuan tua menemui Nabi Dawud ‘alahissalam. “Wahai Nabiyallah, Tuhanmu dzalim atau adil?” tanya perempuan itu. “Dia Dzat Yang Maha Adil dan tidak berlaku dzalim,” jawab Nabi Dawud. “Apa yang telah terjadi denganmu hingga kau bertanya seperti itu?” tanya Nabi Dawud kemudian.
“Aku seorang janda, memiliki tiga anak perempuan. Aku bekerja menyulam kain untuk menghidupi mereka. Kemarin, aku bekerja seharian menyulam di atas kain merah. Usai menyelesaikan pekerjaan, aku memberi tahu anak-anak, aku akan pergi ke pasar. Tiba-tiba saja ada seekor burung besar yang mematukku. Burung itu terbang membawa kain yang akan kujual ke pasar itu. Aku sedih. Tak ada lagi yang bisa kujual untuk memberi makan anak-anak,” kisah wanita itu.
Saat perempuan itu masih bersama Dawud, terdengar seseorang mengetuk pintu. Nabi Dawud mengijinkannya masuk. Ternyata tamu itu berjumlah sepuluh orang. Tiap orang memegang uang sebanyak seratus dinar. “Wahai Nabiyallah, berikanlah uang ini pada orang yang berhak,” ujar salah seorang mewakili teman-temannya.
“Apa yang menyebabkan kalian menyerahkan uang sebanyak ini?” tanya Nabi Dawud.
“Kami berada di atas perahu. Lantas badai datang dan nyaris saja kami tenggelam karena perahu kami berlubang. Tiba-tiba datang seekor burung melemparkan sepotong kain merah bersulam pada kami. Kami gunakan kain itu untuk menutup lobang perahu hingga badai berlalu. Kami pun selamat kembali ke daratan. Setiap orang dari kami bernadzar untuk menyedekahkan seratus dinar. Total seribu dinar. Kami serahkan padamu untuk kau sedekahkan pada orang yang kau kehendaki.”
Dawud menoleh pada sang perempuan sambil berujar, “Tuhan memperdagangkan kainmu, di laut dan di darat, dan kau sempat menuduhnya sebagai Dzat yang dlalim.” Dawud lalu memberikan uang seribu dinar itu padanya. “Nafkahkanlah untuk puteri-puterimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar