oleh: ayyub hizbullah al-fajr
Alkisah, amirul mukminin Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu membeli seekor kuda pada seorang Arab Badui. Setelah menyerahkan harganya, ia menaiki kuda itu. Namun, sebagaimana disebutkan dalam Shuwaru min Hayati Tabi’in karya Dr Abdurrahman Rakfat Basya, setelah Umar pergi agak jauh, ia mendapati cacat berupa memar pada kuda itu. Umar memperlambat laju kudanya dan memutuskan untuk mengembalikan kuda itu. "Ambil kembali kudamu. Hewan ini cacat," ujar Umar saat sampai di tempat si badui.
“Tidak, amirul mukminin. Aku telah menjualnya padamu tanpa cacat dan semua syarat sudah sah,” jawab orang itu.
“Kita serahkan urusan ini pada hakim,” putus Umar.
“Baik. Yang akan menghukumi kita adalah Syuraih bin Harits al-Kindi.”
“Aku setuju dengan keputusanmu.”
Tatkala Syuraih mendengar dakwaan si penjual kuda, ia menoleh pada Umar dan bertanya, “Apakah Anda membeli kuda darinya dalam keadaan sehat tanpa cacat, wahai amirul mukminin?”
"Ya."
"Jagalah apa yang Anda beli, atau Anda kembalikan kudamu ke pemiliknya, sebagaimana Anda membelinya.”
Umar memandang Syuraih dengan kagum sambil berkata, "Sebuah bahasa jelas dan keputusan adil. Pergilah ke Kufah. Aku mengangkatmu menjadi hakim di sana.”
Sebelumnya, kebanyakan orang tak mengenal Syuraih sebagai orang terpandang. Orang juga tidak tahu sebelumnya tentang kecerdikannya. Ia tidak dikenal sebagai pemilik ide di kalangan sahabat dan pemuka tabiin.
Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi. Saat Jazirah Arab disinari cahaya Islam dan menyebar hingga ke negeri Yaman, Syuraih termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ia termasuk orang yang memenuhi panggilan dakwah Islam.
Orang-orang di Yaman mengenalnya sebagi pribadi yang arif dan berbudi pekerti. Mereka meneladani dan mencintai Syuraih. Mereka mengangankan untuk mengutusnya ke Madinah secepat mungkin agar bisa bertemu Rasulullah, dengan tujuan agar Syuraih bisa mengambil llmu langsung dari sumbernya. Namun sayang, ia tak ditakdirkan pergi Madinah al-Munawwarah.
Amirul mukminin mendapati baju itu di tangan seorang dzimmi (non-Muslim yang memiliki perjanjian damai dan hidup di bawah kepimpinan kaum Muslimin, red) yang akan ia jual di pasar. "Ini baju besiku yang jatuh dari ontaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’," kata Ali.
"Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai amirul mukminin," jawab dzimmi itu.
"Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu."
"Di antara kita ada seorang hakim Muslim."
"Engkau telah meminta keadilan, mari kita ke sana."
Keduanya lantas pergi ke Syuraih aI-Qadhi. "Apa yang ingin Anda katakan, wahai amirul mukminin?"
"Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini, karena benda itu benar-benar jatuh dari ontaku di malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya."
Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, "Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?"
"Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah dengan kedustaan.”
Sang hakim menoleh ke arah amirul mukminin sembari berkata, "Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi."
"Ya, saya sanggup. Budakku Qanbar dan anakku Hasan, bisa menjadi saksi."
"Namun persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai amirul mukminin."
"Maha suci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi? Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?"
"Ya, saya mendengarnya, amirul mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya."
Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, "Ambillah baju besiku, karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya."
Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmy berujar, "Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, amirul mukminin." Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Siffin. Baju besi ini jatuh dari onta, lalu aku ambil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar